Thursday, November 20, 2008

Dia adalah Aku Sendiri

+++

Pertama kali melihatnya melintas di depan sebuah mini market. Berjalan tidak terburu-buru, tidak juga berlambat-lambat menembus pejalan kaki, para pekerja yang pulang di senja hari itu. Postur tubuh dan model pakaiannya sangat mencolok dengan kerah yang terlalu lebar dan bahan kain yang terlalu tebal untuk musim dan cuaca kota yang selalu panas dan gerah. Warna bajunya hijau terang, memakai kacamata yang bingkai dan kacanya berwarna hijau terang pula, sepatu, celana, dan kaus tangan yang dikenakan semuanya serba hijau terang, seperti sebuah daun yang segar di atas tumpukan kayu bakar kusam kecoklatan warna kota.

Sebelumnya tak pernah terlintas dalam benakku untuk mengikuti ke arah mana dia berjalan, hanya kebetulan aku selalu berjalan searah dengannya, dan aku juga selalu tak terlalu terburu-buru atau berlambat-lambat berjalan, seolah demikian saja kami berjalan dengan cara kami sendiri. Tak pula aku bermaksud dengan sengaja mengamatinya karena tak ada alasan tertentu untuk melakukan itu. Hingga suatu ketika aku sadar atas kebetulan-kebetulan yang hampir setiap hari terjadi. Setiap kali perjalananku pulang dari bekerja tepat melintasi mini market itu, tiap kali pula dia berjalan keluar dan memulai perjalanannya searah denganku, dengan ritme langkah yang hampir sama.

Pernah suatu ketika karena penasaran aku mencoba untuk menghindari kebetulan yang selama ini berlangsung. Aku sengaja keluar dari kantor lebih lambat dari biasanya, mencoba berjalan lebih lambat pula dari biasanya, dan aku berharap tak lagi bertemu dengan kebetulan-kebetulan yang selama ini terjadi tiap sore itu. Hampir sampai di jalan “kebetulan” itu aku berusaha mengamati ke depan, dalam hati aku berharap tak lagi melihat sosok menyolok dengan warna serba hijau terang yang selama ini biasa aku jumpai dalam perjalanan pulang dari bekerja. Tapi tetap saja “kebetulan” itu terjadi lagi. Demikain juga saat aku mencoba pulang lebih cepat dari biasanya. Sejak saat itulah aku menjadi terobsesi untuk tahu siapa dia dan mengapa kejadian ini aku alami karena “kebetulan” yang berkali-kali telah membuatku mahfum bahwa penguntitanku menjadi beralasan.

Tidak melambat-lambatkan ataupun mempercepat langkah karena toh “kebetulan” itu selalu terjadi dalam tiga minggu terakhir ini, aku pulang dan keluar dari kantor hari itu. Seperti tebakanku, sosok menyolok dengan warna serba hijau terang keluar saat aku hampir sampai di mini market itu. Semuanya seperti biasa, seperti hari-hari selama tiga minggu terakhir, hanya saja saat ini terbersit niatku untuk menguntitnya sampai pada suatu tempat entah dimana nanti.

Berindap indap dan selalu berusaha menjaga jarak aku menguntitnya seperti seorang agen rahasia menembus kerumunan pejalan kaki sore itu. Blok pertama terlewati saat dia berbelok ke sebuah gang kecil yang aku kenal. Dia tidak tergesa gesa, berjalan santai seenaknya, sesekali ditendangnya kerikil kecil di jalanan, menghindari bagian bagian yang becek, atau berhenti sejenak melihat anak-anak kecil bermain bola di halaman sempit depan rumah mereka.

Hari menjelang gelap ketika dia sampai di depan rumahku dan aku terkejut. Rumahku? Apa yang sedang dilakukannya? Dengan penuh rasa penasaran aku tetap mengamatinya dari jarak yang cukup aman. Diambilnya kunci dari saku baju yang entah bagaimana itu adalah kunci rumahku, karena tanpa kesulitan seperti sudah biasa pintu depan rumahku terbuka. Dan dia masuk dengan seenaknya. Dengan penuh rasa penasaran aku bergegas mengikutinya masuk ke dalam rumah sembari bersiap menghadapi segala kemungkinan.

Kegaduhan saat aku membanting pintu dan berlari mengejar tak membuat dia sedikitpun menengok ke belakang. Dia hanya terus berjalan masuk ke kamarku dan aku sudah kehilangan kendali untuk segera menangkap bahkan kalau perlu menghajarnya lebih dulu sebelum kuserahkan ke polisi. Serta-merta aku menghambur ke dalam kamar. Kudapati dia sedang berdiri membelakangiku di depan cermin dan pada detik kemudian mulai melangkah masuk. Betul-betul masuk ke dalam cermin dan menghilang. Beberapa saat tertegun akhirnya kudekati cermin, kuraba permukaannya, hanyalah sebuah cermin yang biasa kugunakan setiap hari. Terlihat bayangan sosok hijau itu, dengan warna baju hijau terang, memakai kacamata yang bingkai dan kacanya berwarna hijau terang pula, sepatu, celana, dan kaus tangan yang dikenakan semuanya serba hijau terang, seperti sebuah daun yang segar di atas tumpukan kayu bakar kusam kecoklatan warna kota. Dia sedang meraba cermin dari arah yang berlawanan, persis seperti apa yang sedang aku lakukan.

+++

No comments: